MENYEBRANG BUDAYA MUDIK
Oleh : Gempur Santoso
Mudik budaya baik. Dalam bahasa Jawa "mudik" itu munggah (naik). Mungkin dulu orang kerja ada di kota atau di tempat ngare (dataran). Saat lebaran mudik (naik) ke hutan-gunung.
Saat ini "mudik" ya ...diartikan kembali ke rumah/suami/istri/ortu/orang yang utama. Budaya mudik : saling maaf, saling ada makanan, ketemu ortu, ketemu sanak famili. Mudik itu bagus. Bahkan dulu sampai difasilitasi oleh pemerintah, perusahaan dan lain-lain, secara total.
Kalau dinjau dari sila kelima Pancasila. Budaya mudik merupakan salah satu perwujudan "Keadilian sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Sila "Persatuan Indonesia" juga.
Budaya mudik juga salah satu perwujudan sila "Ketuhanan yang Maha Esa". Sholat Idul Fitri di tempatnya mudik. Maaf-maaf pan. Idul Fitri. Kalimat "minal aidin wal faizin" adaya di Indonesia, di Arab dan negara lain tak ada.
Apakah budaya mudik bisa dihapus? Walau alasannya virus corona/covid 19. Ada "Musibah", untuk tetap tidak berkerumun, disiplin, dan mengikuti protokol covid 19 - kesehatan.
Budaya, secara umum sulit atau tidak bisa dihapus. Mungkin bisa secara dagrasi. Padahal, kalau ingin sukses pahami dulu budaya setempat. Dan, agar tidak mengalami kesulitan hidup, pahami dulu budaya setempat.
Budaya itu mengakar. Misal, sejak kecil budayanya pakai sandal, jari-jari kaki sudah njeber (melebar), diubah bersepatu. Bisa jadi sepatunya terbuang, kalah dengan budayanya.
Nyuwun duko. Ma'af lahir batin. Minal a'idin wal faidzin. Semoga semua tetap sehat...aamiin.
(GeSa)
0 Komentar