Opini:
*Sihir Mutu dan Ranking*
Daniel Mohammad Rosyid
Mutu adalah mantra masyarakat industri yang ditandai -setelah ditemukannya mesin uap-, oleh _mass production_ seperti pabrik sepatu. *Sesuatu disebut bermutu apabila sesuai dengan standard*. Jadi mutu tidak berarti sama sekali tanpa standard. Standard adalah capaian kinerja yang dianggap memuaskan oleh sebuah komunitas yang secara sukarela menyepakati standard tesebut.
Persekolahan atau _the school system_ sebagai kreasi kelembagaan dirancang pada awalnya untuk secara massal melahirkan tenaga kerja (dengan kompetensi standard) yang akan dipekerjakan dalam pabrik-pabrik skala besar. Semula hanya anak laki2 Inggris yang dikirim ke sebuah tempat untuk memperoleh "pendidikan". Tempat ini kemudian disebut sekolah.
Sebelum sekolah paksa massal ini diadakan, warga muda belajar di rumah lalu magang ke tempat para tukang ahli untuk memperoleh ketrampilan dalam suatu keahlian tertentu seperti pertukangan kayu atau pande besi. Setelah mencapai akil baligh, dengan kecakapan produktif itu, para pemuda sudah cukup percaya diri untuk menikah dan hidup sebagai orang dewasa. Yang memiliki bakat akademik dapat melanjutkan ke universitas seperti Oxford atau Cambridge. Tradisi universitas sudah ada jauh sebelum adanya sekolah. Praktek sekarang, yang mensyaratkan lulus SMA untuk bisa kuliah adalah syarat yang mengada-ada.
Begitulah sekolah dirancang sebagai sebuah pabrik seperti pabrik sepatu. Melalui persekolahan ini, *pendidikan dikerdilkan menjadi sebuah proses indoktrinasi massal* ( _dumbing down of peoples_), bukan untuk membentuk kemampuan berpikir kritis, apalagi untuk membangun jiwa merdeka seperti yang diwasiyatkan oleh Ki Hadjar Dewantoro. Yang diiharapkan oleh birokrat pendidikan adalah lulusan yang patuh dan berdisiplin, cukup cerdas untuk bekerja tapi cukup dungu untuk menjadi pegawai. Persekolahan tidak pernah dirancang untuk menyediakan syarat budaya untuk menjadi bangsa merdeka setelah kemerdekaan kita diproklamasikan Bung Karno dan Bung Hatta.
Di dalam setiap sekolah yang keranjingan mutu, belajar diselenggarakan secara _outside-in, supply-driven_, seragam sesuai standard. Sebuah mekanisme inspeksi mutu ditetapkan. Namanya adalah Ujian Nasional. *Semua anak mungkin belajar banyak sesuai standard, namun bukan untuk menjadi dirinya sendiri yang unik*. Relevansi personal, spasial dan temporal bukan menjadi perhatian guru dan birokrat pendidikan. Belajar menjadi tidak bermakna bagi banyak anak.
Begitulah sihir mutu dimasukkan secara terstruktur, sistemik dan masiv. Standard nasional ditetapkan. Makin menginternasional dikatakan makin baik. Jargon paling top adalah _world-class_. Begitulah standard ditetapkan sebagai instrumen penjajahan baru untuk melestarikan jiwa terjajah kita. _World ranking_ adalah *mekanisme untuk membenarkan bahwa kita memang masih terbelakang*. Kita boleh bertanya pada Menristekdikti, dengan mengimpor Rektor asing, kapan ranking ITB bisa menyamai MIT, atau UI bisa menyamai Harvard ?
Gunung Anyar, 3/8/2019
0 Komentar